14 September 2009

Di balik Kisah Tukang Becak dan Pengemis

Selasa 3/3/09 aku ngrasa malu ama diriku sendiri setelah ngalamin dan ngliat sendiri sebuah kejadian yg terjadi di lampu merah Gondomanan, habis aku pulang dari kasongan. Jadi waktu itu lagi lampu merah. Udara tuh pas panas2nya dan lampu merah itu lagi detik ke 90. Motor dan mobil sangat padat, dan di depan batas garis lampu merah ada becak hijau berhenti menanti lampu hijau, dengan muka pengemudinya yang sangat tua dan letih. Pas detik ke 88, ada seorang pengemis bawa eber kecil gitu warna item. Dia pake kruk, dan setelah aku liat kakinya, ya Tuhan, keciiiilll banget, mungkin polio atau apa, aku juga gak terlalu tau, yang aku tau cuma dia susah berjalan, menghentakkan kruknya ke aspal yang panas, dan ia tanpa alas kaki, bahkan aku ngliat kakinya gak napak ke tanah, jadi badannya tersangga ama kruknya itu. Aku tau kakinya gak bisa dipake buat jalan, karena keliatan lemah banget.. Dan ya Tuhan, di tengah panas terik itu ia melangkahkan kruknya di aspal dan mulai berjalan ke samping kaca mobil, dari satu mobil ke mobil lain dan dari satu motor ke motor lain di bagian depan, kecepatan gerak kruknya berpacu dengan detik lampu merah yang sudah menunjuk detik ke 20, tanpa mendapat sepeserpun rupiah, bahkan ia mendapat tatapan sombong dari "orang-orang kota" dengan pandangan mereka yang meremehkan. Ia pun bergegas mengayuhkan kruknya ke trotoar kecil di tepi lampu merah itu dengan susah payah dan berpacu dengan waktu. Dalam waktu 9 detik ia mampu mencapai trotoar itu dan mengusap peluhnya. Pada detik ke 9 sebelum lampu merah berganti hijau, aku menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat dramatis yang aku sendiri menjadi trenyuh melihatnya. Tukang becak yang tua dan letih itu berlari berpacu dengan detikan traffic light ke arah trotoar dan memasukkan selembar uang lima ribu rupiah ke dalam ember kecil pengemis tadi. saat ia berlari kembali ke becaknya, lampu merah telah berganti hijau, dan ia pun mengayuh becaknya dengan penuh semangat menyusuri jalan gondomanan. Aku bisa ngliat wajah bahagia pengemis itu ketika si tukang becak memasukkan 5rb rupiah ke dalam ember hitam kecilnya. Seketika itu aku malu, kenapa aku tidak bisa seperti tukang becak itu? Uang 5rb bagiku hanya jumlah yang kecil, tapi mungkin bagi tukang becak, 5rb adalah peuhnya ketika menarik becak dari babarsari ke selokan mataram. Dan, tukang becak itu memberikan 5rb pada pengemis itu dengan berpacu waktu. Sungguh aku malu bgt :( Mungkin tukang becak itu mendapatkan pencerahan dari apa yang dilihatnya dari kaki pengemis itu. Mungkin tukang becak itu bersyukur ia masih mempunyai kaki sehat untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara aku?dengan keadaan yang sehat dan normal aku hanya bisa melihat dan merasa kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa. Malu banget aku :(

Tukang becak yang baik hati itu seakan menampar semua orang-orang kota yang sombong yang ada di situ (termasuk aku) yang mungkin hanya bisa pamer semua yang kita miliki dan selalu merasa tidak puas akan apa yang kita miliki. Orang-orang kota yang hedonis yang sudah asosial pada anonymous society. Tukang becak yang baik hati itu mungkin hanya satu dari jutaan orang baik di dunia,tapi dari situ aku yakin banget, tukang becak itu memiliki kebahagiaan yang tak hanya diukur dari materi saja, melainkan dalam refleksi kesadarannya sebagai makhluk sosial. Hmm, dari kejadian ini i just have promise to myself, that i'm going to improve my social awareness, not only for identified society, but also for anonymous society :)



picture taken from http://anakdel.files.wordpress.com/2009/11

0 comment:

Post a Comment