17 June 2010

Ibu Sudah Kaya, Ia Punya Rumah di Atas Awan..

aku masih saja merenung di depan jendela kamarku..

dari awal tanah itu berwarna putih.
berganti coklat.
berganti lagi hijau.
dan kini berganti lagi kecoklatan.
dan rumput-rumput itu mengering.

empat musim sudah aku duduk di jendela ini.
memakan sepotong roti tawar setiap pagi, yang dibawakan oleh ayahku.
kemudian ia mengelus kepalaku, keluar, dan merapikan halaman rumah.

selalu begitu setiap hari.
tak berganti.

adikku yang laki-laki, selalu bermain boneka sembari menunggu ayahku membereskan halaman.
duduk di sebuah ayunan tua yang terpancang di halaman rumah.
entah apa yang ada di pikirannya.
bagiku, tak pantas bagi seorang laki-laki untuk bermain boneka. apapun alasannya.
dan selalu begitu setiap hari.

kakak perempuanku,
selalu duduk di teras rumah, di samping jendela kamarku.
sesekali kudengar ia bernyanyi lirih, lagu sedih.
ia mungkin masih teringat kekasihnya yang pergi jauh ke Indonesia. dan tidak kembali hingga saat ini.

kami bertiga hidup bahagia.
walau hari-hari kami selalu seperti ini.
tapi kami tidak bosan.

seringkali ada anjing mungil masuk yang membuat ayah murka.
tapi itu meramaikan keadaan.

banyak tetangga datang dan membawakan kue untuk kami.
untuk makan kami sehari-hari.

banyak pula yang melemparkan koin sen mereka ke dalam kotak surat kami. entah apa maksudnya.
tapi ayah diam-diam mengambilnya dan menyimpannya di kantong.
lalu digunakan untuk membeli rokok murah yang tak berasa.

televisi di rumah kami, terbuat dari kardus.
ayah masuk ke dalamnya dan membuat cerita boneka dengan tangannya.
tapi tak ada yang mendengar.
aku lebih memilih di kamar.
adik dan kakakku juga memilih berada di tempat mereka masing-masing.

oh iya..
ada satu orang yang belum aku ceritakan.
ibuku.
ibuku sudah kaya raya sekarang.
ia sudah membeli rumah di langit.
di atas awan yang katanya sangat indah.
itu kata ayah.
tapi aku sendiri belum pernah berkunjung ke sana.
kata ayah, untuk terbang ke sana sangatlah mahal.
jarang sekjali ada penerbangan ke sana.
kalaupun ada, harus transit dulu ke beberapa negara. keluarga kami tak mampu.

entah mengapa ibu pergi sendiri meninggalkan kami.
mungkin karena ayah dulunya adalah seorang tukang kayu yang telah pensiun.
tapi yang aku tahu, ibu sering melambaikan tangan dari atas awan.

aku hanya bisa tersenyum mengingat wajah ibu.
sudah empat musim dan semuanya masih seperti dulu. harapku.

Aku, James, dulu didatangi seorang dokter.
dan katanya, aku ini gila. begitu pula ayah dan kakakku.
tapi aku tidak percaya.
mereka semualah yang gila.
karena mereka tidak mengenal siapa ibu saya..