14 October 2009

Kisah Mia, apakah kisahku juga?

Namaku Mia. Umurku 19 tahun. Aku ingin sekali bercerita, tapi aku tak tahu harus menceritakannya kepada siapa. Aku cuma bisa menulis, menulis, dan menulis. Bahkan untuk menggerakkan bibir pun aku tak mampu. Mengucapkan sepatah kata pun aku tak mampu. Aku cuma bisa menulis, agar semua orang tahu apa yang aku rasakan.

Aku membenci cinta. Ketika orang lain sangat memujanya. Orang lain mengagung-agungkan cinta. Mengataskan cinta di atas segalanya. Aku justru menolak ketika cinta itu hadir. Buat aku, hidup tak melulu soal cinta. Buat aku, hidup lebih baik diisi dengan pengorbanan, daripada cinta. Buat aku, pengorbanan lebih tulus dibandingkan cinta. Sacrifice, is the most important thing while you live. Aku bukannya menjelek-jelekkan cinta, tapi aku sadar, adanya kekuatan destruktif dari cinta yang bisa melemahkan setiap orang. Dan aku benci itu.

Aku heran ketika setiap orang mencari cinta. Untuk apa? Cinta itu bukan untuk dicari. Cinta itu, sadar atau tidak, selalu berjalan mengikuti kita. Ini lah yang membuatku membenci cinta. Selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku sebenarnya tidak munafik. Aku membutuhkan cinta. Semua orang membutuhkan cinta. Tapi aku mulai terganggu ketika cinta mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku merasa ada sesuatu yang mengikatku. Dan aku membenci hal itu. Semua orang yang mencari cinta, tentu saja karena mereka membutuhkannya. Akan tetapi, terkadang, ketika sudah mendapatkan cinta, orang jadi lupa diri. Terlalu mengagung-agungkan cinta. Sehingga menjadi destruktif tanpa ia sadari. Jika ada chauvinisme yang terlalu mengagung-agungkan negara di atas segalanya, mungkin perlu dibuat istilah love-drunk-isme, mengagung-agungkan cinta di atas segalanya.

Cinta yang konstruktif memang menyenangkan.. Membuatmu bagai berada di surga. Tapi itu utopis! Cinta takkan bisa selamanya konstruktif. Konstruktif muncul karena adanya sesuatu yang destruktif. Dan cinta memiliki itu. Setiap apa yang terjadi atas dasar cinta pun memiliki tujuan. Dan inilah yang membuat segala sesuatunya membutuhkan timbal balik, lagi-lagi atas nama cinta. Maka jangan heran ketika kamu membaca headline koran, "ABG minum Baygon karena ditinggal kekasih", "Seorang Mayat Mahasiswi ditemukan Mengambang di Sungai, Diduga Diperkosa", "ABG bunuh diri karena hamil di luar nikah". Inilah cinta yang destruktif. Ketika mereka menjalani suatu hubungan, dan tak berani berkorban. Akhirnya, jadi LEMAH.

Buat aku, pengorbanan jauh lebih di atas cinta. Pengorbanan itu tulus, dan selalu konstruktif. Tak ada pengorbanan yang destruktif. Dan aku sangat menyukai pengorbanan ketika ia mengikuti aku, walaupun ia datang tak sesering cinta. Buat aku, pengorbanan itu sesuatu yang tidak bisa direplace dengan apapun. Ketika seseorang berkorban (bahkan atas nama cinta), di situlah kamu menemukan sebuah ketulusan yang sangat dalam. Ketika seseorang sudah memutuskan berkorban untukmu, di situlah kamu merasakan perasaan sayang. Dan buat aku, ini lebih berharga daripada cinta.

Mungkin memang pemikiranku berbeda dengan orang lain, tetapi aku merasa bahwa pemikiranku ini membantuku memulihkan trauma masa laluku. Aku saat ini juga sedang berkorban. Demi diriku sendiri juga. Aku, akan membiarkan orang yang aku sayangi berbahagia dengan orang yang ia pilih nanti. Ketika aku pernah mencoba menggapai cinta namun kemudian jatuh, rasanya sakit. Tapi aku kemudian bangun. Tapi aku jadi membenci cinta. Aku sadar tak bisa selamanya seperti ini. Aku mencoba bangun sendiri, dan berjalan. Dan aku bisa. Aku sadar, saat ini aku tak bisa memilikinya. Aku merasa nyaman ketika ada di dekatnya. Aku merasa bahagia ketika aku ada di dekatnya. Aku, sadar. Aku tidak mencintai dia, tapi aku menyayangi dia, tak peduli seberapa buruk perbuatan yang pernah ia lakukan padaku. Aku tidak memiliki hasrat untuk memilikinya. Karena aku juga tak bisa memaksakan perasaannya kepadaku. Aku mulai belajar menata sikap, belajar berkorban. Tak selamanya aku bisa memiliki apa yang aku inginkan. Sekalipun aku membutuhkan dia, aku tak mau egois. Ketika aku merasa nyaman dengan dia dalam keadaan seperti ini, aku merasa inilah yang harus dijalani. Aku mengorbankan perasaanku dan mencoba untuk mengikuti semua apa adanya. Aku bahagia melihatnya menyukai orang lain, walau terkadang aku masih memakai topeng kebahagiaan. Tapi aku sadar tak bisa selamanya seperti itu. Jengah. Aku saat ini sudah cukup bahagia, memiliki sahabat seperti dia. Aku sadar, bahwa aku tidak mencintainya, tapi aku menyayanginya. Dan aku cukup terseenyum saat dia bahagia, bahkan kini aku dapat tersenyum tanpa topeng kebahagiaan, karena aku sadar, aku saat ini sudah mempu menyayanginya dengan tulus..

Inilah kisah Mia, semoga aku dapat memberikan sedikit inspirasi bagi kalian yang mendengarkan cerita ini.

Salam sayang,
Mia.

0 comment:

Post a Comment